Kumpulan Puisi Wiji Tukul
Kumpulan Puisi Wiji Thukul
Pulanglah
Nang
pulanglah
nang
jangan
dolanan sama si kuncung
si kuncung
memang nakal
nanti bajumu
kotor lagi
disirami air
selokan
pulanglah
nang
nanti kamu
manangis lagi
jangan
dolanan sama anaknya pak kerto
si bejo
memang mbeling
kukunya
hitam panjang-panjang
kalau makan
tidak cuci tangan
nanti kamu
ketularan cacingan
pulanglah
nang
kamu kan
punya mobil-mobilan
kapal
terbang bikinan taiwan
senapan atom
bikinan jepang
kamu kan
punya robot yang bisa jalan sendiri
pulanglah
nang
nanti kamu
digebugi mamimu lagi
kamu pasti
belum tidur siang
pulanglah
nang
jangan
dolanan sama anaknya mbok sukiyem
mbok sukiyem
memang keterlaluan
si slamet
sudah besar tapi belum disekolahkan
pulanglah
nang
pasti papimu
marah lagi
kamu pasti
belum bikin PR
belajar yang
rajin
biar nanti
jadi dokter
Solo,
september 86
Monumen
Bambu Runcing
monumen
bambu runcing
di tengah
kota
menuding dan
berteriak merdeka
di kakinya
tak jemu juga
pedagang
kaki lima berderet-deret
walau
berulang-ulang
dihalau
petugas ketertiban
semarang, 1
maret 86
Riwayat
seperti
tanah lempung
pinggir
kampung
masa laluku
kuaduk-aduk
kubikin
bentuk-bentuk
patung
peringatan
berkali-kali
kuhancurkan
kubentuk
lagi
kuhancurkan
kubentuk
lagi
patungku tak
jadi-jadi
aku ingin
sempurna
patungku tak
jadi-jadi
lihat!
diriku makin
belepotan
dalam
penciptaan
kalangan,
oktober 87
Suara Dari
Rumah-Rumah Miring
di sini kamu
bisa menikmati cicit tikus
di dalam
rumah miring ini
kami mencium
selokan dan sampan
bagi kami
setiap hari adalah kebisingan
di sini kami
berdesak-desakan dan berkeringat
bersama
tumpukan gombal-gombal
dan
piring-piring
di sini kami
bersetubuh dan melahirkan
anak-anak
kami
di dalam
rumah miring ini
kami melihat
matahari menyelinap
dari atap ke
atap
meloncati
selokan
seperti
pencuri
radio dari
segenap penjuru
tak
henti-hentinya membujuk kami
merampas
waktu kami dengan tawaran-tawaran
sandiwara
obat-obatan
dan
berita-berita yang meragukan
kami
bermimpi punya rumah untuk anak-anak
tapi bersama
hari-hari pengap yang menggelinding
kami harus
angkat kaki
karena kami
adalah gelandangan
solo,
oktober 87
Catatan
Malam
anjing
nyalak
lampuku
padam
aku
nelentang
sendirian
kepala di
bantal
pikiran
menerawang
membayang
pernikahan
(pacarku
buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam)
kukibaskan
pikiran tadi dalam gelap makin pekat
aku ini
penyair miskin
tapi
kekasihku cinta
cinta
menuntun kami ke masa depan
solo-kalangan,
23 februari 88
Nyanyian
Akar Rumput
jalan raya
dilebarkan
kami terusir
mendirikan
kampung
digusur
kami pindah-pindah
menempel di
tembok-tembok
dicabut
terbuang
kami rumput
butuh tanah
dengar!
Ayo gabung
ke kami
Biar jadi
mimpi buruk presiden!
juli 1988
Catatan
udara AC
asing di tubuhku
mataku
bingung melihat
deretan
buku-buku sastra
dan
buku-buku tebal intelektual terkemuka
tetapi
harganya
Ooo.. aku
ternganga
musik stereo
mengitariku
penjaga
stand cantik-cantik
sandal jepit
dan ubin mengkilat
betapa jauh
jarak kami
uang sepuluh
ribu di sakuku
di sini
hanya dapat 2 buku
untuk
keluargaku cukup buat
makan seminggu
gemerlap
toko-toko di kota
dan kumuh
kampungku
dua dunia
yang tak pernah bertemu
solo, 87-88
Ucapkan
Kata-Katamu
jika kau tak
sanggup lagi bertanya
kau akan
ditenggelamkan keputusan-keputusan
jika kau
tahan kata-katamu
mulutmu tak
bisa mengucapkan
apa maumu
terampas
kau akan
diperlakukan seperti batu
dibuang
dipungut
atau dicabut
seperti rumput
atau
menganga
diisi apa
saja menerima
tak bisa
ambil bagian
jka kau tak
berani lagi bertanya
kita akan
jadi korban keputusan-keputusan
jangan kau
penjarakan ucapanmu
jika kau
menghamba pada ketakutan
kita akan
memperpanjang barisan perbudakan
kemasan-kentingan-sorogenen
Sajak Bapak
Tua
bapak tua
kulitnya
coklat dibakar matahari kota
jidatnya
berlipat-lipat seperti sobekan luka
pipinya
gosong disapu angin panas
tenaganya
dikuras
di jalan
raya siang tadi
sekarang
bapak mendengkur
dan ketika
bayangan esok pagi datang
di dalam
kepalaku
bis tingkat
itu tiba-tiba berubah
jadi ikan
kakap raksasa
becak-becak
jadi ikan teri
yang tak
berdaya
solo, juni
1987
Sajak Bagong
bagong
namanya
tantanglah
berkelahi
kepalamu
pasti dikepruk batu
bawalah
whisky
bahumu pasti
ditepuk-tepuk gembira
ajaklah
omong
tapi jangan
khotbah
ia akan
kentut
bagong
namanya
malam
begadang
subuh tidur
bangun siang
sore parkir
untuk makan
awas jangan
ngebut di depan matanya
engkau bisa
dipukuli
lalu
ditinggal pergi
ya, ya..
bagong namanya
pemilu
kemarin besar jasanya
bagong ya
bangong
tapi bagong
sudah mati
pada suatu
pagi
mayatnya
ditemukan orang
di tepi rel
kereta api
setahun yang
lalu
ya, ya..
setahun yang lalu
Sajak Ibu
ibu pernah
mengusirku minggat dari rumah
tetapi
menangis ketika aku susah
ibu tak bisa
memejamkan mata
bila adikku
tak bisa tidur karena lapar
ibu akan
marah besar
bila kami
merebut jatah makan
yang bukan
hak kami
ibuku
memberi pelajaran keadilan
dengan kasih
sayang
ketabahan
ibuku
mengubah
rasa sayur murah
jadi sedap
ibu menangis
ketika aku mendapat susah
ibu menangis
ketika aku bahagia
ibu menangis
ketika adikku mencuri sepeda
ibu menangis
ketika adikku keluar penjara
ibu adalah
hati yang rela menerima
selalu
disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf
dan ampun
kasih sayang
ibu
adalah kilau
sinar kegaiban tuhan
membangkitkan
haru insan
dengan
kebajikan
ibu
mengenalkan aku kepada tuhan
solo, 1986
Sajak Kepada
Bung Dadi
ini tanahmu
juga
rumah-rumah
yang berdesakan
manusia dan
nestapa
kampung
halaman gadis-gadis muda
buruh-buruh
berangkat pagi pulang sore
dengan gaji
tak pantas
kampung
orang-orang kecil
yang dibikin
bingung
oleh
surat-surat izin dan kebijaksanaan
dibikin
tunduk mengangguk
bungkuk
ini tanah
airmu
di sini kita
bukan turis
solo-sorogenen,
malam pemilu 87
Catatan 88
saban malam
dendam
dipendam
protes
diam-diam
dibungkus
gurauan
saban malam
menyanyi
menyabarkan diri
bau tembakau
dan keringat di badan
campur aduk
dengan kegelisahan
saban malam
mencoba
bertahan menghadapi kebosanan
menegakkan
diri dengan harapan-harapan
dan senyum
rawan
saban malam
rencana-rencana
menumpuk jadi kuburan
solo-sorogenen,
1 september 88
Jalan Slamet
Riyadi Solo
dulu kanan
dan kiri jalan ini
pohon-pohon asam
besar melulu
saban
lebaran dengan teman sekampung
jalan
berombongan
ke taman
sriwedari nonton gajah
banyak yang
berubah kini
ada holland
bakery
ada diskotik
ada taksi
gajahnya
juga sudah dipindah
loteng-loteng
arsitektur cina
kepangkas
jadi gedung tegak lurus
hanya kereta
api itu
masih hitam
legam
dan terus
mengerang
memberi
peringatan pak-pak becak
yang nekat
potong jalan
“hei hati
hati
cepat menepi
ada polisi
banmu
digembos lagi nanti!”
solo,
mei-juni 1991
Batas
Panggung
kepada para
pelaku
ini adalah
daerah kekuasaan kami
jangan
lewati batas ini
jangan
campuri apa yang terjadi di sini
karena
kalian penonton
kalian
adalah orang luar
jangan rubah
cerita yang telah kami susun
jangan
belokkan jalan cerita yang telah kami rencanakan
karena
kalian adalah penonton
kalian
adalah orang luar
kalian harus
diam
panggung
seluas ini hanya untuk kami
apa yang
terjadi d sini
jangan
ditawar-tawar lagi
panggung
seluas ini hanya untuk kami
jangan coba
bawa pertanyaan-pertanyaan berbahaya
ke dalam
permainan ini
panggung seluas
ini hanya untuk kami
kalian harus
bayar kami
untuk
membiayai apa yang kami kerjakan di sini
biarkan kami
menjalankan kekuasaan kami
tontonlah
tempatmu di
situ
solo, 21
november 91
Ceritakanlah
Ini Kepada Siapa Pun
panas campur
debu
terbawa
angin ke mana-mana
koran hari
ini memberitakan
kedungombo
menyusut kekeringan
korban
pembangunan dam
muncul
kembali ke permukaan
tanah-tanah
bengkah
pohon-pohon
besar malang-melintang
makam-makam
bangkit dari ingatan
mereka yang
dulu diam
kali ini
cerita itu
siapa akan membantah
dasar waduk
ini dulu dusun rumah-rumah
waktu juga
yang menyingkap
retorika
penguasa
walau
senjata ditodongkan kepadamu
walau sepatu
di atas kepalamu
di atas
kepalaku
di atas
kepala kita
ceritakanlah
ini kepada siapa pun
sebab cerita
ini belum tamat
solo, 30
agustus 91
Tetangga
Sebelahku
tetangga
sebelahku
pintar bikin
suling bambu
dan
memainkan banyak lagu
tetangga
sebelahku
kerap pinjam
gitar
nyanyi sama
anak-anaknya
kuping
sebelahnya rusak
dipopor
senapan
tetangga
sebelahku
hidup bagai
dalam benteng
melongok-longok
selalu
membaca
bahaya
tetangga
sebelahku
diterror
masa lalu
kalangan-solo,
november 1991
Hujan
mendung
hitam tebal
masukkan itu
jemuran
dan
bantal-bantal
periksa lagi
genting-genting
barangkali
bocornya pindah
udara gerah
ruangan
gelap
listrik tak
nyala
mana anak
kita?
hujan akan
lebat lagi nampaknya
semoga tanpa
angin keras
burung-burung
parkit itu
masih
berkicau juga dalam kandangnya
burung-burung
parkit itu
apakah juga
pingin punya rumah sendiri
seperti
kami?
kalangan-solo,
25 november 91
Lingkungan
Kita Si Mulut Besar
lingkungan
kita si mulut besar
dihuni
lintah-lintah
yang kenyang
menghisap darah keringat tetangga
dan
anjing-anjing yang taat beribadah
menyingkiri
para panganggur
yang mabuk
minuman murahan
lingkungan
kita si mulut besar
raksasa yang
membisu
yang
anak-anaknya terus dirampok
dan dihibur
film-film kartun amerika
perempuannya
disetor
ke
mesin-mesin industri
yang
membayar murah
lingkungan
kita si mulut besar
sakit perut
dan terus berak
mencret oli
dan logam
busa dan
plastik
dan zat-zat
pewarna yang merangsang
menggerogoti
tenggorokan bocah-bocah
yang
mengulum es
limapuluh
perak
kampung
kalangan-solo, desember 1991
Megatruh
Solidaritas
akulah bocah
cilik itu
kini aku
datang kepada dirimu
akan
kuceritakan masa kanak-kanakmu
akulah bocah
cilik itu
yang tak
berani pulang
karena
mencuri uang simbok
untuk beli
benang layang-layang
akulah bocah
cilik itu
yang menjual
gelang simbok
dan ludes
dalam permainan dadu
akulah bocah
cilik kurus itu
yang tak
pernah menang bila berkelahi
yang selalu
menangis bila bermain sepak-sepong
aku adalah
salah seorang dari bocah-bocah kucel
yang
mengoreki tumpukan sampah
mencari sisa
kacang atom
dan sisa
moto buangan pabrik
akulah bocah
bengal itu
yang
kelayapan di tengah arena sekaten
nyrobot
brondong dan celengan
dan menangis
di tengah jalan
karena tak
bisa pulang
akulah bocah
cilik itu
yang
ramai-ramai rebutan kulit durian
dan digigit
anjing ketika nonton telepisi
di rumah Bah
Sabun
ya engkaulah
bocah cilik itu
sekarang
umurku dua puluh empat
ya akulah
bocah cilik itu
sekarang aku
datang kepada dirimu
karena
kudengar kabar
seorang
kawan kita mati terkapar
mati
ditembak mayatnya dibuang
kepalanya
koyak
darahnya
mengental
dalam
selokan
solo, 31
januari 1987
Catatan
Suram
kucing hitam
jalan pelan
meloncat
turun dari atap
tiga orang
muncul dalam gelap
sembunyi
menggenggam besi
kucing hitam
jalan pelan-pelan
diikuti
bayang-bayang
ketika
sampai di mulut gang
tiga orang
menggeram
melepaskan
pukulan
bulan
disaput awan meremang
saksikan
perayaan kemiskinan
daging
kucing pindah
ke perut
orang!
solo, 1987
Gumam
Sehari-hari
di ujung
sana ada pabrik roti
kami beli
yang remah-remah
karena murah
di ujung
sana ada tempat penyembelihan sapi
dan kami
kebagian bau
kotoran air
selokan dan tai
di ujung
sana ada perusahaan daging abon
setiap pagi
kami beli kuahnya
dimasak
campur sayur
di pinggir
jalan
berdiri
toko-toko baru
dan
macam-macam bangunan
kampung kami
di belakangnya
riuh dan
berjubel
seperti kutu
kere kumal
terus
berbiak!
membengkak
tak tercegah!
jagalan, kalangan
solo, 29 januari 1989
Catatan Hari
Ini
aku nganggur
lagi
semalam ibu
tidur di kursi
jam dua
lebih aku menulis puisi
aku duduk
menghadap meja
ibu
kelap-kelip matanya ngitung utang
jam enam
sore:
bapak pulang
kerja
setelah
makan sepiring
lalu mandi
tanpa sabun
tadi siang
ibu tanya padaku:
kapan ada
uang?
jam setengah
tujuh malam
aku
berangkat latihan teater
apakah seni
bisa memperbaiki hidup?
solo, juni
86
Reportase
dari Puskesmas
barangkali
karena ikan laut yang kumakan ya
barangkali
ikan laut. seminggu ini
tubuhku
gatal-gatal ya.. gatal-gatal
karena itu
dengan lima ratus rupiah aku daftarkan
diri ke
loket, ternyata cuma seratus lima puluh
murah sekali
oo.. murah sekali! lalu aku menunggu
berdiri.
bukan aku saja. tapi berpuluh-puluh
bayi
digendong. orang-orang batuk
kursi-kursi
tak cukup maka berdirilah aku.
“sakit apa
pak?”
aku bertanya
kepada seorang bapak berkaos lorek
kurus.
bersandal jepit dan yang kemudian mengaku
sebagai
penjual kaos celana pakaian rombeng di pasar johar.
“batuk-pilek-pusing-sesek
nafas
wah! campur
jadi satu nak!”
bayangkan
tiga hari menggigil panas tak tidur
ceritanya
kepadaku. mendengar cerita lelaki itu
seorang ibu
(40 th) menjerit gembira:
“ya ampun
rupanya bukan aku saja!”
di ruang
tunggu berjejal yang sakit pagi itu
sakit gigi
mules mencret demam semua bersatu.
jadi satu.
menunggu.
o ya pagi
itu seorang tukang kayu sudah tiga hari
tak kerja.
kakinya merah bengkak gemetar
“menginjak
paku!” katanya, meringis.
puskesmas
itu demokratis sekali, pikirku
sakit gigi,
sakit mata, mencret, kurapan, demam
tak bisa
tidur, semua disuntik dengan obat yang sama.
ini namanya
sama rasa sama rasa.
ini namanya
setiap warga negara mendapatkan haknya
semua yang
sakit diberi obat yang sama!
semarang, 86
Sajak Kota
kota macam
apa yang kita bangun
mimpi siapa
yang ditanam
di benak
rakyat
siapa yang
merencanakan
lampu-lampu
menyibak
jalan raya
dilicinkan
di aspal
oleh uang rakyat
motor-motor
mulus meluncur
merek-merek
iklan
di atap
gedung
menyala
berjejer-jejer
toko roti
toko sepatu
berjejer-jejer
salon-salon
kecantikan
siapa
merencanakan nasib rakyat?
Pemandangan
aku pangling
betul
pada ini
jalan jendral Sudirman
balaikota
makin berubah
sampai
Slamet Riyadi-Gladag
reklame
rokok berkibar-kibar
spanduk show
band
pameran
rumah murah
(tapi
harganya jutaan!)
kehingaran
jalan raya
menyolok
mata
Jendral
Sudirman
dihiasi
slogan-slogan pembangunan
tapi kantor
pos belum berubah
bank-bank
dan gereja makin megah
di pojok
Ronggowarsito
ada aturan
baru
becak
dilarang terus
(bis kota
turah-turah penumpang!)
solo,
desember 87
Aku Lebih
Suka Dagelan
di radio aku
mendengar berita
katanya
partisipasi politik rakyat kita sangat menggembirakan
tapi
kudengar dari mulut seorang kawanku
dia
diinterogasi dipanggil gurunya
karena ikut
kampanye PDI
dan di
kampungku ibu RT
tak mau
menegor sapa warganya
hanya karena
ia Golkar
ada juga
yang saling bertengkar
padahal
rumah mereka bersebelahan
penyebabnya
hanya karena mereka berbeda tanda gambar
ada juga
kontestan yang nyogok
tukang-tukang
becak
akibatnya
dalam kampanye banyak
yang
mencak-mencak
di radio aku
mendengar berita-berita
tapi aku
jadi muak karena isinya
kebohongan
yang tak mengatakan kenyataan
untunglah
warta berita segera bubar
acara yang
kutunggu-tunggu datang: dagelan!
solo, 87
Sajak
Setumbu Nasi Sepanci Sayur
setumbu nasi
sepanci
sayur kobis
renungan
hari ini
berjongkok
di dapur
angan
terbuka seperti layar bioskop
bising mesin
bis kota
merdeka berlaga di jalan raya
becak-becak
berpeluh melawan jalan raya
siapa
pengatur jalan kaki
siapa
pemerintah kaki lima
begitu patuh
mereka diusir pergi
begitu
berani mereka datang kembali
gemuruh kota
menggaru benakku
berjongkok
di dapur
kompor
kering
kayu tempat
piring-piring
gedung-gedung
beranak pinak
Nyanyian
Abang Becak
jika harga
minyak mundhak
simbok
semakin ajeg berkelahi sama bapak
harga minyak
mundhak lombok-lombok akan mundhak
sandang
pangan akan mundhak
maka
terpaksa tukang-tukang lebon
lintah darat
bank plecit tukang kredit harus dilayani
siapa tidak
marah bila kebutuhan hidup semakin mendesak
seribu lima
ratus uang belanja tertinggi dari bapak untuk simbok
siapa bisa
mencukupi
sedangkan
kebutuhan hidup semakin mendesak
maka simbok
pun mencak-mencak:
“pak-pak
anak kita kebacut metu papat lho!”
bayaran
sekolahnya anak-anak nunggak lho!”
si Penceng
muntah ngising, perutku malah sudah
isi lagi dan
suk Selasa Pon ana sumbangan maneh
si Sebloh
dadi manten!”
jika BBM
kembali menginjak
namun juga
masih disebut langkah-langkah kebijaksanaan
maka aku
tidak akan lagi memohon pembangunan
nasib
kepadamu duh
pangeran duh gusti
sebab nasib
adalah permainan kekuasaan
lampu butuh
menyala, menyala butuh minyak
perut butuh
kenyang, kenyang butuh diisi
namun bapak
cuma abang becak!
maka apabila
becak pusaka keluarga pulang tanpa membawa uang
simbok akan
kembali mengajak berkelahi bapak.
solo, 1984
Jalan
aspal leleh
tengah hari
silau aku
oleh sinar matahari
gedung-gedung
baru berdiri
arsitektur
lama satu-satu hilang
dimakan
pembangunan
jalan kiri
kanan dilebarkan
becak-becak
melompong di pinggiran
yang jalan
kaki
yang
digenjot
yang jalan
bensin
semua ingin
jalan
solo, 22
november 90
Pasar Malam
Sriwedari
beli karcis
di loket
pengemis tua
muda anak-anak
mengulurkan
tangan
masuk arena
corong-corong berteriak
udara terang
benderang tapi sesak
di stand
perusahaan rokok besar
perempuan
montok menawarkan dagangannya
di stand
jamu tradisionil
kere-kere di
depan video berjongkok
nonton silat
mandarin
di dalam
gedung wayang wong
penonton
lima belas orang
ada pedagang
kaki lima
yang liar
tak berizin
setiap saat
bisa diusir keamanan
solo, 28 mei
86
Sajak Tikar
Plastik-Tikar Pandan
tikar
plastik tikar pandan
kita duduk
berhadapan
tikar
plastik tikar pandan
lambang dua
kekuatan
tikar
plastik bikinan pabrik
tikar pandan
dianyam tangan
tikar
plastik makin mendesak
tikar pandan
bertahan
kalian duduk
di mana?
solo, april
88
Lumut
dalam gang
pikiranku menggumam
seperti
kemarin saja
kini los
rumah yang dulu kami tempati
jadi
bangunan berpagar tembok tinggi
aku jalan
lagi
melewati
rumah yang pernah disewa
Riyanto
buruh kawan sekerjaku
ke mana lagi
dia sekeluarga
rumah itu
kini gantian di sewa
keluarga
mbak Nina
kampung ini
tak memiliki tanah lapang lagi
tanah-tanah
kosong sudah dibeli orang
dalam gang
setengah
gelap setengah terang
aku
menemukan perumpamaan:
kita ini
lumut
menempel di
tembok-tembok bangunan
berkembang
di pingir-pinggir selokan
di musim
kemarau kering
diterjang
banjir
tetap hidup
kalau
keadaan berubah
perumpamaan
boleh berubah
menurutmu
sendiri
kita ini
siapa?
kalangan
solo, 8 februari 91
Tanah
tanah
mestinya di bagi-bagi
jika cuma
segelintir orang
yang
menguasai
bagaimana
hari esok kamu tani
tanah
mestinya ditanami
sebab hidup
tidak hanya hari ini
jika sawah
diratakan
rimbun semak
pohon dirubuhkan
apa yang
kita harap
dari
cerobong asap besi
hari ini aku
mimpi buruk lagi
seekor
burung kecil menanti induknya
di dalam
sarangnya yang gemeretak
dimakan sapi
1989-solo
Sajak Tapi
Sayang
kembang dari
pinggir jalan
kembang yang
tumbuh di tembok
tembok
selokan
kupindah
kutanam di halaman depan
anakku
senang bojoku senang
tapi sayang
bojoku ingin
nanam lombok
anakku ingin
kolam ikan
tapi sayang
setelah sewa
rumah habis
kami harus
pergi
terus cari
sewa lagi
terus cari
sewa lagi
alamat rumah
kami punya
tapi sayang
kamu butuh
tanah
25 januari
91 – solo
Gunungbatu
gunungbatu
desa yang
melahirkan laki-laki
kuli-kuli
perkebunan
seharian
memikul kerja
setiap pagi
makin bungkuk
dijaga
mandor dan traktor
delapan
ratus gaji sehari
di rumah
ditunggu
mulut perut
anak istri
gunungbatu
desa yang
melahirkan laki-laki
pencuri-pencuri
menembak
binatang di hutan lindung
mengambil
telur penyu
di pantai
terlarang
demi piring
nasi
kehidupan
sehari-hari
gunungbatu
desa
terpencil jawa barat
dipagari
hutan
dibatasi
pantai-pantai cantik
ujung
genteng, cibuaya, pangumbahan
sulit
transportasi
-jakarta
dekat-
sulit
komunikasi
sejarah
gunungbatu
sejarah
kuli-kuli
sejak
kolonial
sampai
republik merdeka
sejarah
gunungbatu
sejarah
kuli-kuli
gunungbatu
masih di
tanah air ini
november 87
Suti
Suti tidak
kerja lagi
pucat ia
duduk dekat amben-nya
Suti di
rumah saja
tidak ke
pabrik tidak ke mana-mana
Suti tidak
ke rumah sakit
batuknya
memburu
dahaknya
berdarah
tak ada
biaya
Suti
kusut-masai
di benaknya
menggelegar suara mesin
kuyu matanya
membayangkan
buruh-buruh
yang berangkat pagi
pulang
petang
hidup
pas-pasan
gaji kurang
dicekik
kebutuhan
Suti meraba
wajahnya sendiri
tubuhnya
makin susut saja
makin kurus
menonjol tulang pipinya
loyo
tenaganya
bertahun-tahun
dihisap kerja
Suti
batuk-batuk lagi
ia ingat
kawannya
Sri yang
mati
karena rusak
paru-parunya
Suti meludah
dan
lagi-lagi darah
Suti
memejamkan mata
suara mesin
kembali menggemuruh
bayangan
kawannya bermunculan
Suti
menggelengkan kepala
tahu mereka
dibayar murah
Suti meludah
dan
lagi-lagi darah
Suti
merenungi resep dokter
tak ada uang
tak ada obat
solo, 27
februari 88
Apa Yang
Berharga Dari Puisiku
apa yang
berharga dari puisiku
kalau adikku
tak berangkat sekolah
karena belum
membayar SPP
apa yang
berharga dari puisiku
kalau becak
bapakku tiba-tiba rusak
jika nasi
harus dibeli dengan uang
jika kami
harus makan
dan jika
yang dimakan tidak ada?
apa yang
berharga dari puisiku
kalau bapak
bertengkar dengan ibu
ibu
menyalahkan bapak
padahal
becak-becak terdesak oleh bis kota
kalau bis
kota lebih murah siapa yang salah?
apa yang
berharga dari puisiku
kalau ibu
dijiret utang
kalau
tetangga dijiret utang?
apa yang
berharga dari puisiku
kalau kami
terdesak mendirikan rumah
di
tanah-tanah pinggir selokan
sementara
harga tanah semakin mahal
kami tak
mampu membeli
salah siapa
kalau kami tak mampu beli tanah?
apa yang
berharga dari puisiku
kalau orang
sakit mati di rumah
karena rumah
sakit yang mahal
apa yang
berharga dari puisiku
kalau yang
kutulis makan waktu berbulan-bulan
apa yang
bisa kuberikan dalam kemiskinan yang menjiret kami?
apa yang
telah kuberikan
kalau
penonton baca puisi memberi keplokan
apa yang telah
kuberikan
apa yang
telah kuberikan?
semarang, 6
maret 86
Mendongkel
Orang-Orang Pintar
kudongkel
keluar
orang-orang
pintar
dari dalam
kepalaku
aku tak
tergetar lagi
oleh
mulut-mulut orang pintar
yang
bersemangat ketika berbicara
dunia
bergerak bukan karena omongan
para
pembicara dalam ruang seminar
yang
ucapannya dimuat
di halaman
surat kabar
mungkin
pembaca terkagum-kagum
tapi dunia
tak bergerak
setelah
surat kabar itu dilipat
Kampung
halaman solo, 8 september 1993
Kota ini
Milik Kalian
di belakang
gedung-gedung tinggi
kalian boleh
tinggal
kalian bebas
tidur di mana-mana kapan saja
kalian bebas
bangun sewaktu kalian mau
jika
kedinginan karena gerimis atau hujan
kalian bisa
mencari hangat
di sana ada
restoran
kalian bisa
tidur dekat kompor penggorengan
bakmi ayam
dan babi
denting
garpu dan sepatu mengkilap
di samping
sedan-sedan dan mobil-mobil bikinan jepang
kalian bisa
mandi kapan saja
sungai itu
milik kalian
kalian bisa
cuci badan dengan limbah-limbah industri
apa belum
cukup terang benderang itu
lampu
merkuri taman
apa belum
cukup nyaman tidur di bawah langit kawan
kota ini
milik kalian
kecuali
gedung-gedung tembok pagar besi itu; jangan!
Gentong
Kosong
parit susut
tanah
kerontang
langit
mengkilau perak
matahari
menggosongkan pipi
gentong
kosong
beras
segelas cuma
masak apa
kita hari ini?
pakis-pakis
hijau
bawang putih
dan garam
kepadamu
kami berterimakasih
atas
jawabanmu
pada sang
lapar hari ini
gentong
kosong
airmu kering
ciduk jatuh
bergelontang
minum apa
hari ini?
sungai-sungai
pinggir hutan
yang menolong
di panas terik
dan kalian
pucuk-pucuk muda daun pohon karet
yang
mendidih bersama ikan teri di panci
jadilah
tenaga hidup kami hari ini
dengan
iris-irisan ubi keladi
yang
digoreng dengan minyak
persediaan
terakhir kami
gentong
kosong
botol kosong
marilah
bernyanyi
merayakan
hidup ini
6 januari 97
Kucing, Ikan
Asin dan Aku
seekor
kucing kurus
menggondol
ikan asin
laukku untuk
siang ini
aku meloncat
kuraih pisau
biar kubacok
dia
biar mampus!
ia tak lari
tapi
mendongak
menatapku
tajam
mendadak
lunglai
tanganku
-aku melihat
diriku sendiri
lalu kami
berbagi
kuberi ia
kepalanya
(batal nyawa
melayang)
aku hidup
ia hidup
kami
sama-sama makan
14 oktober
1996
Nonton Harga
ayo keluar
keliling kota
tak perlu
ongkos tak perlu biaya
masuk toko
perbelanjaan tingkat lima
tak beli tak
apa
lihat-lihat
saja
kalau pingin
durian
apel-pisang-rambutan-anggur
ayo..
kita bisa
mencium baunya
mengumbar
hidung cuma-cuma
tak perlu
ongkos tak perlu biaya
di kota kita
buah macam
apa
asal mana
saja
ada
kalau pingin
lihat orang cantik
di kota kita
banyak gedung bioskop
kita bisa
nonton posternya
atau ke
diskotik
di depan
pintu
kau boleh
mengumbar telinga cuma-cuma
mendengarkan
detak musik
denting
botol
lengking dan
tawa
bisa juga
kau nikmati
aroma minyak
wangi luar negeri
cuma-cuma
aromanya
saja
ayo..
kita
keliling kota
hari ini ada
peresmian hotel baru
berbintang
lima
dibuka
pejabat tinggi
dihadiri
artis-artis ternama ibukota
lihat
mobil para
tamu berderet-deret
satu
kilometer panjangnya
kota kita
memang makin megah dan kaya
tapi hari
sudah malam
ayo kita
pulang
ke rumah
kontrakan
sebelum
kehabisan kendaraan
ayo kita
pulang
ke rumah
kontrakan
tidur
berderet-deret
seperti ikan
tangkapan
siap dijual
di pelelangan
besok pagi
kita ke
pabrik
kembali
bekerja
sarapan nasi
bungkus
ngutang
seperti
biasa
18 november
96
Derita Sudah
Naik Seleher
kaulempar
aku dalam gelap
hingga
hidupku menjadi gelap
kausiksa aku
sangat keras
hingga aku
makin mengeras
kau paksa
aku terus menunduk
tapi
keputusan tambah tegak
darah sudah
kau teteskan
dari bibirku
luka sudah
kau bilurkan
ke sekujur
tubuhku
cahaya sudah
kau rampas
dari biji
mataku
derita sudah
naik seleher
kau
menindas
sampai
di luar
batas
17 november
96
Puisi Sikap
maunya
mulutmu bicara terus
tapi
telingamu tak mau mendengar
maumu aku
ini jadi pendengar terus
bisu
kamu memang
punya tank
tapi salah
besar kamu
kalau karena
itu
aku lantas
manut
andai benar
ada
kehidupan lagi nanti
setelah
kehidupan ini
maka akan
kuceritakan kepada semua mahkluk
bahwa
sepanjang umurku dulu
telah
kuletakkan rasa takut itu di tumitku
dan
kuhabiskan hidupku
untuk
menentangmu
hei penguasa
zalim
24 januari
97
Hari Ini Aku
Akan Bersiul-siul
pada hari
coblosan nanti
aku akan
masuk ke dapur
akan
kujumlah gelas dan sendokku
apakah
jumlahnya bertambah
setelah
pemilu bubar?
pemilu oo..
pilu pilu
bila hari
coblosan tiba nanti
aku tak akan
pergi kemana-mana
aku ingin di
rumah saja
mengisi
jambangan
atau mananak
nasi
pemilu oo..
pilu pilu
nanti akan
kuceritakan kepadamu
apakah jadi
penuh karung beras
minyak tanah
gula
atau bumbu
masak
setelah
suaramu dihitung
dan pesta
demokrasi dinyatakan selesai
nanti akan
kuceritakan kepadamu
pemilu oo..
pilu pilu
bila tiba
harinya
hari
coblosan
aku tak akan
ikut berbondong-bondong
ke tempat
pemungutan suara
aku tidak
akan datang
aku tidak
akan menyerahkan suaraku
aku tidak
akan ikutan masuk
ke dalam
kotak suara itu
pemilu oo..
pilu pilu
aku akan
bersiul-siul
memproklamasikan
kemerdekaanku
aku akan
mandi
dan
bernyanyi sekeras-kerasnya
pemilu oo..
pilu pilu
hari itu aku
akan mengibarkan hakku
tinggi tinggi
akan
kurayakan dengan nasi hangat
sambel
bawang dan ikan asin
pemilu oo..
pilu pilu
sambel
bawang dan ikan asin
10 november
96
Merontokkan
Pidato
bermingu-minggu
ratusan jam
aku dipaksa
akrab dengan
sudut-sudut kamar
lobang-lobang
udara
lalat semut dan
kecoa
tapi
catatlah
mereka gagal
memaksaku
aku tak akan
mengakui kesalahanku
karena
berpikir merdeka bukanlah kesalahan
bukan dosa
bukan aib bukan cacat
yang harus
disembunyikan
kubaca koran
kucari apa
yang tidak tertulis
kutonton
televisi
kulihat apa yang
tidak diperlihatkan
kukibas-kibaskan
pidatomu itu
dalam
kepalaku hingga rontok
maka terang
benderanglah
:ucapan
penguasa selalu dibenarkan
laras
senapan!
tapi
dengarlah
aku tak akan
minta ampun
pada
kemerdekaan ini
11 september
96
Puisi
Menolak Patuh
walau
penguasa menyatakan keadaan darurat
dan
memberlakukan jam malam
kegembiraanku
tak akan berubah
seperti
kupu-kupu
sayapnya
tetap indah
meski air
kali keruh
pertarungan
para jendral
tak ada
sangkut pautnya
dengan
kebahagiaanku
seperti
cuaca yang kacau
hujan angin
kencang serta terik panas
tidak akan
mempersempit atau memperluas langit
lapar tetap
lapar
tentara di
jalan-jalan raya
pidato
kenegaraan atau siaran pemerintah
tentang
kenaikkan pendapatan rakyat
tidak akan
mengubah lapar
dan
terbitnya kata-kata dalam diriku
tak bisa
dicegah
bagaimana
kau akan membungkamku?
penjara
sekalipun
tak bakal
mampu
mendidikku
jadi patuh
17 januari
97
—————-
TAMBAHAN —————
PENYAIR
jika tak ada
mesin ketik
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!
aku akan menulis dengan tangan
jika tak ada tinta hitam
aku akan menulis dengan arang
jika tak ada kertas
aku akan menulis pada dinding
jika aku menulis dilarang
aku akan menulis dengan
tetes darah!
sarang jagat
teater 19 januari
1988
Pesan sang
Ibu
Tatkala aku
menyarungkan pedang
Dan
bersimpuh di atas pangkuanmu,
Tertumpah
rasa kerinduanku pada sang Ibu
Tangannya
yang halus mulus membelai kepalaku, bergetarlah seluruh jiwa ragaku
Musnahlah
seluruh api semangat juangku
Namun sang
Ibu berkata” Anakku sayang, apabila kakimu sudah melangkah di tengah
padang, tancapkanlah kakimu dalam2 dan tetaplah terus bergumam sebab gumam
adalah mantra dari dewa-dewa, gumam mengandung ribuan makna.”
“Apabila
gumam sudah menyatu dengan jiwa raga, maka gumam akan berubah menjadi
teriakan-teriakan. Yang nantinya akan berubah menjadi gelombang salju yang
besar yang nantinya akan mampu merobohkan isrtana yang penuh kepalsuan
gedung-gedung yang dihuni kaum munafik”
“Tatanan
negeri ini sudah hancur Anakku”
“Dihancurkan
oleh sang penguasa negeri ini
Mereja hanya
bisa bersolek di depan kaca tapi membiarkannya punggungnya penuh noda dan penuh
lendir hitan yang baunya kemana mana
Mereka
selalu menyemprot kemaluannya denang parfum luar negeri
Di luar
berbau wangi di dalam penuh dengan bakteri
Dan hebatnya
sang penguasa negeri ini pandai bermaniin akrobat
Tubuhnya
mampu dilipat-lipat yang akhirnya. pantat dan kemaluannya sendiri mampu
dijilat-jilat
Anakku
apabila pedang sudah dicabut janganlah surut janganlah bicara soal menang dan
kalah, sebab menang dan kalah hanyalah mimpi-mimpi, mimpi-mimpi muncul dari
sebuah keinginan,
Keinginan
hanyalah sebuah khayalan , yang akan melahirkan harta dan kekuasaan.
Harta dan
kekuasaan hanyalah balon-balon sabun yang terbang di udara
Anakku
asahlah pedangmu, ajaklah mereka bertarung di tengah padang, lalu tusukkan
pedangmu di tengah-tengah selangkangan mereka. Biarkan darah tertumpah di
negeri ini”
Satukan
gumammu menjadi revolusi!!!
BUKAN KATA
BARU
ada kata
baru kapitalis, baru? Ah tidak, tidak
sudah lama
kita dihisap
bukan kata
baru, bukan
kita dibayar
murah
sudah lama,
sudah lama
sudah lama
kita saksikan
buruh mogok
dia telpon kodim, pangdam
datang
senjata sebataliyon
kita
dibungkam
tapi tidak,
tidak
dia belum
hilang kapitalis
dia terus
makan
tetes ya
tetes tetes keringat kita
dia terus
makan
sekarang rasakan kembali jantung
yang gelisah memukul-mukul marah
karena darah dan otak jalan
kapitalis
dia hidup
bahkan berhadap-hadapan
kau aku buruh mereka kapitalis
sama-sama hidup
bertarung
ya, bertarung
sama-sama?
tidak, tidak bisa
kita tidak bisa bersama-sama
sudah lama ya sejak mula
kau aku tahu
berapa harga lengan dan otot kau aku
kau tahu berapa upahmu
kau tahu
jika mesin-mesin berhenti
kau tahu berapa harga tenagamu
mogoklah
maka kau akan melihat
dunia mereka
jembatan ke dunia baru
dunia baru ya dunia baru.
-tebet 9/5/1992-
sekarang rasakan kembali jantung
yang gelisah memukul-mukul marah
karena darah dan otak jalan
kapitalis
dia hidup
bahkan berhadap-hadapan
kau aku buruh mereka kapitalis
sama-sama hidup
bertarung
ya, bertarung
sama-sama?
tidak, tidak bisa
kita tidak bisa bersama-sama
sudah lama ya sejak mula
kau aku tahu
berapa harga lengan dan otot kau aku
kau tahu berapa upahmu
kau tahu
jika mesin-mesin berhenti
kau tahu berapa harga tenagamu
mogoklah
maka kau akan melihat
dunia mereka
jembatan ke dunia baru
dunia baru ya dunia baru.
-tebet 9/5/1992-
Aku Masih
Utuh dan Kata-kata Belum Binasa
aku bukan
artis pembuat berita
tapi aku
memang selalu kabar buruk buat
penguasa
puisiku
bukan puisi
tapi
kata-kata gelap
yang
berkeringat dan berdesakan
mencari
jalan
ia tak
mati-mati
meski bola
mataku diganti
ia tak
mati-mati
meski
bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk
sepi
ia tak
mati-mati
telah
kubayar yang dia minta
umur-tenaga-luka
kata-kata
itu selalu menagih
padaku ia
selalu berkata
kau masih
hidup
aku memang
masih utuh
dan
kata-kata belum binasa
(Wiji Thukul.18
juni 1997)
Komentar
Posting Komentar