Kumpulan Puisi Gunawan Muhammad
Gambar : 2.bp.blogspot.com
KUMPULAN PUISI GOENAWAN MUHAMMAD
Di antara Kanal
Jarimu
menandai sebuah percakapan
yang tak
hendak kita rekam
di hitam
sotong dan gelas sauvognon blanc
yang akan
ditinggalkan.
Di kiri kita
kanal menyusup
dari laut.
Di jalan para kelasi
malam
seakan-akan biru.
“Meskipun esok
lazuardi,” katamu.
Aku dengar.
Kita kenal
kegaduhan di
aspal ini.
Kita tahu
banyak hal.
Kita tahu
apa yang sebentar.
Seseorang
pernah mengatakan
kita telah
disandingkan
sejak
penghuni pertama ghetto Yahudi
membangun
kedai.
Tapi kau
tahu aku akan melepasmu di sudut itu,
tiap malam
selesai, dan aku tahu kau akan pergi.
“Kota ini,”
katamu, “adalah jam
yang
digantikan matahari.”
2012
Tentang Chopin
Kembali ke
nokturno, katamu. Aku inginkan Chopin.
Seperempat
jam kemudian, tuts hitam pada piano itu menganga.
Malam telah
melukai mereka.
Mungkin itu
sebabnya kau selalu merasa bersalah, seakan-akan sedih adalah bagian dari
ketidaktahuan.
Atau
kecengengan. Tapi setiap malam, ada jalan batu dan lampu sebuah kota yang tak
diingat lagi, dan kau,
yang mencoba
mengenangnya dari cinta yang pendek, yang terburu, akan gagal. Di mana kota
ini? Siapa yang
meletakkan
tubuh itu di sisi tubuhmu?
Semua yang
kembali
hanya
menemuimu
pada mimpi
yang tersisa
di ruas
kamar….
Coba dengar,
katamu lagi,
apa yang
datang dalam No. 20 ini?
Di piano itu
seseorang memandang ke luar
dan mencoba
menjawab:
Mungkin
hujan. Hanya hujan.
Tapi tak ada
hujan dalam C-Sharp Minor, katamu.
2012
Yang tak menarik dari mati
adalah
kebisuan sungai
ketika aku
menemuinya.
Yang
menghibur dari mati
adalah sejuk
batu-batu,
patahan-patahan
kayu
pada arus
itu.
2012
Aktor
Aktor
terakhir menutup pintu.
“Caesar, aku
pulang.”
Dan
ruang-rias kosong. Cermin jadi dingin
seperti
wajah tua yang ditinggalkan.
Siapapun
pulang. Meski pada jas dengan punggung yang berlobang ia masih rasakan ujung
pisau itu menikam dan akerdeon bernyanyi pada saat kematian.
“Teater,”
sutradara selalu bergumam, “hanya kehidupan dua malam.”
“Tapi tetap
kehidupan,” ia ingin menjawab.
Ia selalu
merasa bisa menjawab.
Ia menyukai
suaranya sendiri
dan beberapa
kata-kata.
Tapi pada
tiap reruntukan panggung
ia lupa
kata-kata.
Pada tiap
reruntukan panggunng
ia hanya
ingin tiga detik — tiga detik yang yakin:
dalam lorong
Kapai-Kapai, Abu tak berhenti
hanya karena
cahaya tak ada lagi.
Ia tak
menyukai melankoli.
2012
Rite of
Spring
Tari itu
melintas pada cermin:
bagian
terakhir Ritus Musim.
Gerak gaun —
paras putih –
tapak kaki
yang melepas lantai….
23 tahun
kemudian di kaca ia temukan wajahnya.
Sendiri.
Terpisah dari ruang.
Lekang,
seperti warna waktu pada kertas koreografi.
Tapi ia
masih ingin meliukkan tangannya.
“Aku tak
seperti dulu,” katanya,
“tapi di
fragmen ini kau memerlukan aku.
Aku — hantu
salju.”
Suaranya
pelan. Seperti derak tulang
ketika di
ruang latihan itu tak ada lagi adegan.
Hanya nafas.
Mungkin ia masih di situ.
2012

Komentar
Posting Komentar